Rabu, 18 November 2015

Rasa Indah Tak Sepantasnya untuk Diumbar

Indah dan berbunga-bunga kala rasa itu datang. Aku telah mengalaminya berulang kali.

Sekedar rasa yang lewat, rasa yang manusiawi. Jangankan melihat orangnya baru melihat sandalnya saja sudah senang luar biasa.

Begitupun saat menginjak bangku SLTP, aku pernah punya rasa. Sekali lagi sekedar rasa. Tapi itu sudah cukup membuatku pusing.

Tak doyan makan, tak bisa tidur, tak konsen belajar , bengong di kelas, melamun di atas sepeda sampai masuk sungai, dan tiba-tiba aku suka dandan ... Masya Allaah, sebegitunya.

Syukur, Alhamdulillaah rasa itu tak pernah kesampaian. Karena aku tahu, rasa itu memang tak sepantasnya ada.

Bukan tak boleh, kata ummi. Rasa indah itu, tak boleh di umbar sembarangan. Ada aturan saat yang tepat dan ‘’prosedur’’ sayar’i, begitu kata ummi. Dan itu akan datang pada waktunya.

Aku tetaplah seorang remaja. Meski ummi selalu mengingatkanku, tapi rasa penasaranku tetap saja muncul. Ada keinginan backstreet diam-diam ...hmm kayaknya seru juga. Setan terus saja menghembuskan hal-hal indah tentang Adam. Aku harus sering menghalaunya dengan istighfar. Bukan karena kata Ummi, tapi karena aku mulai lebih memahami hukum berhubungan dengan lawan jenis. Ah, tetap saja susah. Alhamdulillaah, aku bisa bertahan sampai kini ...

Bangku kuliah tinggal skripsi. Aku harus rajin berburu informasi dan data untuk skripsiku. Benar-benar menguras energi. Hari itu aku masih ingat harus menemui seorang nara sumberku, seorang wanita di perusahaan provit. Qadarullaah, baru beberapa menit ngobrol, beliau ada tugas mendadak. Dari ponselnya ia tampak menghubungi seseorang untuk menggantikannya menemuiku dan memberikan informasi yang kubutuhkan.

Setelah mengucap maaf padaku, beliau meninggalkanku dan memintaku menunggu seseorang yang akan menggantikannya menemuiku. Menunggu agak lama membuatku sedikit gelisah, hingga kusibukan diriku membaca majalah-majalah di meja. Baru saja hendak ku buka lembaran berikutnya, seorang pria berpenampilan rapi masuk. Tapi kemudian berbalik lagi dengan cepat. Aku segera tersadar mungkin ia tak menduga aku bercadar atau mungkin ia berpikir salah menemui orang. Sesaat berikutnya ada suara di balik pintu.

‘’Afwan anda yang mau buat skripsi?”

“Ya, jawabku”.

Informasi berikutnya kudapat dari balik pintu, dengan di temani karyawati kantor yang di mintanya masuk menemaniku. Alhamdulillaah, skripsiku sukses akhirnya.

Selepas skripsi, aku masih berhubungan dengan pemilik perusahaan provit itu. Qadarullaah, kami nyambung. Dan ternyata pula, keluarga besarnya banyak yang tinggal di kota kelahiran abi di timur pulau jawa, beda desa satu kecamatan. Kami jadi akrab dan sering bertemu.

Dari beliau pula, aku di kenalkan dengan karyawan pavoritnya. Beliau sering menceritakan awal usaha yang di bantu oleh karyawannya ini. Aku sedikit terkejut ketika beliau bilang, karyawan pavoritnya adalah yang menemuiku dulu.

“Pasti sudah ketemu dan ngobrol banyak ya? Atau cuma dari balik pintu?” Beliau rupanya tahu. Tapi sedekat dan sedetail inikah? Beliau malah tertawa.

“Dia anak kakak saya. Pintar, gesit, dan tanggung jawab pada pekerjaan. Dia sempat tanya kamu dari mana lho.”

Pipiku seolah terbakar. Dan .... rasa itu, debar itu .... astaghfirullaah datang lagi. Tapi kali ini aku lebih bisa mengontrol diri dan perasaanku. Aku hanya tersenyum bahkan nyaris menahan tawa dengan canda beliau.

Ketukan pintu di kamar kos mengejutkanku. Ternyata Bu Za, pemilik perusahaan provit itu datang ke kosku. Jelas itu mengejutkanku. Meski bilang mampir, tapi sepertinya ada hal yang ingin di bicarakan. Rasanya tak mungkin beliau mampir begitu saja. Tiba-tiba beliau menyinggung soal pernikahan. Menceritakan bagaimana bahagianya beliau jadi seorang ibu sekaligus istri.

“Belum Pengin nikah? Nikah itu enak lho....”

Aku tergelak sesaat sebelum beliau melanjutkan.

“Kalau mau Ibu kenalkan kamu ke seseorang mau? In syaa Allaah baik. Ibu tahu seleramu lho”

Kali ini aku kian tergelak.

“Malah tertawa, ibu benar-benar serius lho.” Kata Bu Za memotong tawaku.

Pulang ke kos aku teringat obrolan pernikahan bu Za. Aku telepon ummi. Jawaban beliau di luar dugaanku.

“Tafadhal, biar ummi gak kepikiran kamu di luar kota. In syaa Allaah, itu yang terbaik. Kamu jadi ada yang jagain. Abi boleh juga tuh. Kerja belakangan, sambil jalan.”

Subhanallaah. Rasa itu kini benar-benar hadir, rasa yang sesungguhnya. Pria keponakan Bu Za yang menjadi suamiku. Alhamdulillaah, aku akhirnya menikah. Rasa itu akhirnya terwujud, di tempat yang seharusnya. Rasa yang halal dan di ridhai Allaah. In syaa Allaah.

Kami menikah sebulan kemudian. Alhamdulillaah, kami telah di karuniai empat buah hati yang sehat dan lucu sekarang. Jazakillaah khair untuk ummi yang selalu meneguhkanku dengan nasihatnya. Sungguh, jika ummi tak selalu mengingatkanku untuk berlabuh di tempat yang seharusnya, entah sudah jadi apa diriku kini. Syukur tiada henti, ketika kudapat melabuhkan rasaku di tempat yang agung & suci. Semoga sakinah, mawadah, wa rahmah selalu mewarnai keluarga kecil yang kubina di jalan Allaah.

Sumber: Kisah ta’aruf, Majalah Nikah Sakinah volume 11, No.7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk berkomentar. Silahkan...