Kamis, 19 November 2015

KEPENTOK JODOH

Ini mungkin sebuah kisah ta'aruf yang aneh, atas izin Allah. Aku ta'aruf dengan orang yang sama di tiga tempat berbeda.
Dan ta'aruf yang terakhir kami baru "jadian". 

Lulus SMU, aku masuk ke sebuah universitas dan selanjutnya aktif di organisasi islam.

Hobi organisasi dan bertemu dengan orang tersalur di sini. Aktif hampir di seluruh kegiatan kampus membuatku banyak di kenal orang, baik sesama aktivis atau bukan.

Di antara aktivis organisasi, yang namanya cinta lokasi sudah biasa.
Itu di luar aktivitas positif organisasi, heboh beritanya tak kalah dengan selebritis. Dari yang putus sambung, gagal total, sampai yang sukses di pelaminan adalah berita yang biasa mampir di telinga ku dan rekan lain.
Ikhtilat membuat cinta lokasi tumbuh subur di organisasi. Aku tak kaget dengan semua itu. Tapi aku memang tak tertarik sama sekali mengikuti teman-teman yang lain.

Aku bayangkan cinta itu pasti sakit. Buktinya Wenda, Neni, Nia Rasti tiba-tiba datang ke kost ku di waktu yang berbeda. Ada yang cemberut, berteriak histeris, menangis, hingga membuat bantal ku basah kuyup. Dan pastinya membuat ku punya pekerjaan tambahan, momong mereka hingga tangis nya mereda dan.... mencuci sarung bantal.
Ah, begitu repot nya berurusan dengan cinta. orang lain bisa di buat sibuk karena nya.

Tahun keempat kuliah aku mulai mengenal manhaj salaf. Tapi belum istiqamah. Aku masih saja aktif di organisasi itu. Namun mulai sedikit demi sedikit menerapkan manhaj salaf. Seperti mulai mengatur jarak dengan lawan jenis. Dan mungkin ini yang membuat teman-teman ku "heboh".
Mereka menganggap aku berubah. Perubahan ku ini ternyata menarik seorang ikhwan di organisasi ku. Dia meminta tolong pada teman untuk menyampaikan keinginan nya. Ku terima selembar kertas biodata untuk menghormati nya. Sayang, setahuku ikhwan itu masih merokok. Sementara aku meyakini bagaimana syariat memandang rokok. Ta'aruf itu berakhir. Hingga selesai kuliah aku tak pernah lagi menjalani proses ta'aruf.

Rampung kuliah, aku merantau keluar kota, setelah usaha ku melamar kerja di kota kelahiran ku menemui jalan buntu.
Meski sebenarnya berat, tapi tuntutan ekonomi harus membuat ku mengalah. Tiga adik ku masih banyak butuh biaya.
Sementara bapak tak lagi bisa diharapkan setelah mengalami kecelakaan kerja. Bapak hanya bisa bekerja seadanya. Sebagai anak sulung bapak memasrahkan semua tanggung jawab itu pada ku. Tega tak tega Bismillah. meski batin menangis, aku mantap melangkahkan kaki berburu rezeki. Bapak menghantarkan ku ke kota tujuan. Meminta maaf atas ketidak berdayaannya menjadi kepala keluarga dan mengucapkan terima kasih atas kesediaan ku menggantikan nya. Hatiku haru dan teriris mendengar kata bapak. Ya Allah jagalah semua orang yang kucintai dan jagalah aku di rantau.

Aku bersyukur, di kota rantau aku bisa menemukan majlis taklim. Jika libur atau shift, aku menyempatkan diri mengikutinya. jadi, waktu ku tak terbuang sia-sia. Di tahun pertama aku bekerja, ajakan ta'aruf kuterima lagi.
Ikhwan kenalan teman di tempat kerja. Aku mengiyakan setelah di desak. Aku tak banyak bertanya saat itu.

Esok nya saat ku baca biodata itu, aku kaget, ikhwan ini ternyata adalah ikhwan pertama yang pernah ta'aruf denganku.
Hatiku masih berat menerimanya, aku ingin mencari laki-laki yang sekufu denganku. Alhamdulillah ikhwan itu faham meski sama-sama kaget sepertiku. Jauh dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa ta'aruf dengan ikhwan ini lagi? kami tak saling tahu keberadaan kami. Subhanallah aku tersenyum, hingga membuat teman ku yang masih awam terheran-heran. Aku menepuk punggungnya dan berlalu.

"Mbak tidak jadi nikah kok malah tertawa?!"

masuk tahun ketiga aku di kota rantau, Alhamdulillah ekonomi keluarga di kampung sudah membaik.ibu bisa membuka toko lumayan besar dari uang yang ku kirim.

Hampir seperti mini market kampung.
Aku cukup puas melihat nya saat pulang. Adikku membuka rental komputer dan kursus. ku syukuri jerih payah ku tak sia-sia, keluarga ku amanah dengan uang yang kukirim. mereka tidak memakainya untuk hambur-hamburan, di saat orang lain banyak melakukannya.

Usai libur cuti kerja, aku kembali ke kota.
Sebelumnya aku telah berjanji dengan seorang teman kerja yang baru ikut mengaji bersamaku, untuk menjemput dan bersama kembali ke kota. Di atas bus kami ngobrol panjang, sampai kemudian ia menawariku untuk menikah.

"la teman kakak di bandung. Kakak menawarkan padaku tapi kamu tahu sendiri, aku sedang proses dengan ikhwan lain. Dah "ngaji" dan kerja di instansi mapan. Kata kakakku, dia juga punya usaha yang di kelola karyawannya."

"Ya, boleh. Insya Allah aku coba dulu," jawabku.

"Biodata nya ntar kalau sudah sampai kontrakan ya..."

Aku mengangguk.
Malam sebelum tidur, teman ku menyodorkan kertas biodata ikhwan.

"Nich Mbak, calon pangeranmu. Jangan menolak ya, menyesal tahu rasa," ucapnya bercanda.

Tawaku tak terbendung. Kertas di tangan ku terguncang-guncang.

Masya Allah, begini ya kalau Allah punya kehendak. Pergi kemana saja, di mana saja yang datang ta'aruf orang yang sama. Dia lagi dia lagi. Dari saat masih di kampus, awal aku kerja, dan sekarang saat aku di rumah. Tapi kali ini aku tak akan menolak nya lagi.

Ikhwan itu menjemput ku satu setengah bulan kemudian. Kami menikah dengan sederhana. Alhamdulillah banyak teman yang mendoakan kami. Aku keluar dari tempat kerja. Sahabat ku menyusul dua pekan kemudian. Kini, 5 orang buah hati menghiasi rumah kami. Semoga kami selalu dalam lindungan Allah dan selalu meghias keluargaku dengan samara.

NB: salam untuk Nun di kota hujan.

Sumber: 

Majalah nikah Sakinah volume 11, no. 11

Akhwatmuslimah.mywapblog.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk berkomentar. Silahkan...