Jumat, 20 November 2015

MAHAR TERINDAH BERUPA TAUHID

Aku bertemu suami hampir sebelas tahun lalu semasa semester akhir di
perguruan tinggi. Awal yang tak sengaja, saat aku kena tilang (Istilah untuk pelanggaran aturan lalu lintas) di jalan sepulang kuliah. Suami lah yang kala itu menilangku. Karena tergesa-gesa pulang, helemku yang usai dipinjam teman ketinggalan di parkiran kampus.

Seminggu berikutnya, aku kena razia lagi, gara-gara lupa membawa SIM. Itulah aku, masih muda tapi pelupa. Belum lagi kebiasaanku yang ceroboh dan asal taruh makin menambah daftar hitam “sifat burukku”. Bapak dan ibu sering sekali menegurku. Dan saat razia ini lagi-lagi aku berhadapan dengan polisi yang sama. Ya suamiku itu.
“Saudari tidak malu kena tilang terus?” Tanyanya kala itu sambil senyum-senyum. Ya, malu pak. Bapak juga nggak bosen nilang saya?” Jawabku sekenanya. Dia dan beberapa temannya tertawa. Aku diam-diam merasa dongkol. Siapa yang pingin lupa dan siapa juga pingin kena tilang? Aku menggerutu dalam hati.

Pertemuan ketiga terjadi saat tak sengaja ketemu. Suamiku yang kala itu masih bujang, dia belanja ke pasar! Ini benar-benar kejutan. Laki-laki pergi ke pasar, masih berpakaian dinas lagi. Ia begitu “pede” dan tampak terbiasa melakukannya. Saat aku masih terbengong melihatnya, dia melihat dan mendekatiku.
“Apa kabar, Mbak. Belanja ya?” sapanya ramah.
Ya, nganter ibu. Belanja juga ya, Pak?”
Biasa kok, belanja titipan itu. Jangan panggil saya pak. Nama saya Suryo.”
Aku manggut-manggut.

Aku sempat “dekat” dengannya selama tiga bulan. Qadarullah, saat itu aku mulai kenal Islam lebih dekat. Awalnya saat persiapan skripsi, aku harus “mendadak” jadi
anak kost. Tujuanku untuk hemat energi dan bisa lebih konsen dalam mempersiapkan makalah. Kebetulan setelah mencari kos kian kemari, yang kosong cuma “kos-kosan ninja”, kata teman yang membantu mencari kos.

Awalnya aku enggan dan tak berminat. Ternyata hikmah dan “skenario langit” itu kusadari kini. Musim hujan yang sering turun kala itu, juga membuatku tak bisa menolak untuk tidak kos di sana. Intinya, Allah tak memberiku pilihan lain. Meski awalnya asing bersama “ninja” tapi akhirnya, syukur alhamdulillah, tak pernah henti-henti kuucap. Dari gaul dengan teman- teman akhwat itu, aku tahu kenapa tak ada istilah pacaran dalam Islam.
Padahal, hampir tiga bulan aku di kos- kosan itu. Tiap malam Ahad aku “diapelin”. Astaghfirullah, malur asanya bila ingat itu. Akhirnya, aku memutuskan baik- baik hubunganku
dengannya. Meski awalnya ia tak mau. Aku memberinya pengertian dan asal pembaca tahu, suamiku saat itu masih non muslim. Ia Katholik taat. Bahkan, aku sering mengantarnya ke gereja. Itu kulakukan karena saat itu pemahaman agamaku sangat minim.

Sedih. Tentu dan itu pasti, Tapi aku telah memilih “jalan baru”. Aku hapus semua tentangnya, dari foto, nomor HP atau segala hal yang berhubungan dengannya. Hatiku ringan karena niatku semata mengharap ridha Allah. Skripsiku pun berjalan lancar. Dan saat wisuda IP-ku sangat memuaskan. Walhamdulillah.

Selesai kuliah, aku minta ijin ortu untuk tetap tinggal di kost. Itu kulakukan untuk menjaga ghirah dan istiqamah. Maklum, aku baru hitungan bulan mengenal manhaj ini, jadi butuh lingkungan yang mendukung. Aku tak yakin bila di rumah, sebab di rumah bapak membuka rental PS (Playstation). Rumah kecilku biasa jadi tongkrongan anak-anak dan remaja. Aku merasa tak nyaman di rumah. Untuk melarang bapak pun aku tak berani. Untuk biaya hidup, aku mengajar.
Hingga delapan bulan dari kelulusan. Sebuah sms kuterima dari Suryo. Padahal aku sudah ganti nomor handphone. Rupanya ia minta ke orang tuaku. Pesannya singkat, “Maukah kau menikah denganku?” Ya Allah pria ini masih saja mengharapkanku. Padahal aku telah membuang jauh tentangnya. Aku hapus SMS-nya, tanpa kubalas.

Malam Ahad, seperti biasa aku pulang ke rumah. Dan yang mengejutkanku Suryo mencariku. Penting kata bapak. Kepada bapak Suryo bilang ingin melamarku. Ia juga titip susuatu untukku. Amplop besar kubuka selepas Suryo pulang. Masya Allah, isinya adalah SK beberapa surat keterangan dari atasan hingga kantor pusat mengenai kepindahan agamanya. Suryo telah menjadi mualaf. Air mataku berlingang, tangisku pecah. Ternyata begitu putus dariku, ia langsung mengurus surat pindah agama pada kantor dinasnya. Yang luar biasa, ia juga belajar dien mulia ini pada sebuah kajian salaf, subhanallah. Kuharap kepindahan agamanya semata karena Allah. Akhirnya kuberi jawaban “ya” pada suryo lewat bapak. Kami baru bisa menikah beberapa bulan kemudian, karena harus menyelesaikan beberapa urusan terkait dinas.

Mahar terindah untukku adalah keislamannya. Sepanjang pernikahan itu aku tak henti berurai airmata, airmata bahagia. Bayangkan, usai akad nikah, 5 dari 7 saudara Mas Suryo juga menjadi mualaf-mualaf baru menyusul Mas Suryo.

Walhamdulillah. Bapak dan ibu Mas Suryo tak bermasalah. Bahkan beliau berdua dekat dengan kami siang malam. Tak henti kumohon pada Allah agar memberi hidayah
pada beliau berdua. Apalagi bila kuingat begitu luar biasanya baiknya mereka padaku, pada besan, pada keluarga, tetangga juga lingkungan sekelilingnya. Aku selalu berharap hidayah itu datang, amin.

Kini, kami sudah punya dua momongan. Aku dan suami selalu berangkat taklim bila ia tak dinas. Harapanku, keluarga yang kami bangun langgeng, sakinah mawaddah wa rahmah. (***).

Sebagaimana diceritakan shahibul qishah pada Ummu Nawwaf
sumber :
Majalah NIKAH SAKINAH vol 9 no 12
Akhwatmuslimah.mywapblog.com

..Saya telah menikahi seorang bidadari..

Namanya Aini. begitu ummi biasa memanggilnya. Salah satu "adik" terbaik yang pernah ummi miliki, yang pernah ummi temui dan alhamdulillah Allah pertemukan ummi dengannya.

Seharusnya 20 November nanti genap ia menginjak usia 37 tahun. Beberapa tahun bersamanya, banyak contoh yang bisa ummi ambil darinya. Kedewasaan sikap, keshabaran, keistiqomahan, dan pengabdian yang luar biasa meretas jalan dakwah ini. Seorang muharrik dakwah yang tangguh dan tak pernah menyerah. Sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah putus asa dan memiliki khusnuzon yang teramat tinggi kepada Allah. Dan dia adalah salah satu amanah ummi terberat, ketika memang harusnya ia sudah memasuki sebuah jenjang pernikahan.

Ketika beberapa akhwat lain yang lebih muda usianya melenggang dengan mudahnya menuju jenjang tersebut, maka Aini ,Allah taqdirkan harus terus meretas kesabaran.

Beberapa kali ummi berikhtiar membantunya menemukan ikhwan shalih, tetapi ketika sudah memulai setengah perjalanan proses..Allah pun berkehendak lain. Namun begitu, tidak pernah ada protes yang keluar dari lisannya, tidak juga ada keluh kesah, atau bahkan mempertanyakan kenapa sang ikhwan begitu " lemahnya " hingga tidak mampu menerjang berbagai penghalang ? Atau ketika masalah fisik, suku, serta terlebih usia yang selalu menjadi kendala utama seorang ikhwan mengundurkan diri , Aini pun tidak pernah mempertanyakan atau memprotes " kenapa ikhwan sekarang seperti ini ? Tidak ada gurat sesal, kecewa, atau sedih pada raut muka ataupun tutur katanya. Kepasrahan dan keyakinan terhadap kehendak Allah begitu indah terlukis dalam dirinya.

Hingga, akhirnya seorang ikhwan shalih yang dengan kebaikan akhlak serta ilmunya, datang dan berkenan untuk menjadikannya seorang pendamping. Tidak ada luapan euphoria kebahagiaan yang ia tampakkan selain ucapan singkat yang penuh makna "Alhamdulillah..jazakillah ummi sudah membantu...mohon doa agar diridhai Allah ".

Alhamdulillah , Allah mudahkan proses ta’arauf serta khitbah mereka, tanpa ada kendala apapun seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Padahal ikhwan shalih yang Allah pilihkan tersebut berusia 8 tahun lebih muda dari usianya.

Berkomitmen pada sunnah Rasulullah untuk menyegerakan sebuah pernikahan, maka rencana akad pun direncanakan 1 bulan kemudian, bertepatan dengan selesainya adik sang ikhwan menyelesaikan studi di negeri Mesir.

Namun , Allah lah Maha Sebaik-baik Pembuat keputusan.. 2 minggu menjelang hari pernikahan, sebuah kabar duka pun datang. Usai Aini mengisi sebuah ta’lim , motor yang
dikendarainya terserempet sebuah mobil, dan menabrak kontainer didepannya. Aini shalihah pun harus meregang nyawa di ruang ICU. 2 hari setelah peristiwa itu, Rumah sakit yang menanganinya pun menyatakan menyerah. Tidak sanggup berbuat banyak karena kondisinya yang begitu parah.

Hanya iringan dzikir disela-sela isak tangis kami yang berada disana. Semua keluarga Aini juga sang ikhwan pun sudah berkumpul. Mencoba menata hati bersama untuk pasrah dan bersiap menerima apapun ketentuanNya. Kami hanya terus berdoa agar Allah berikan yang terbaik dan terindah untuknya. Hingga sesaat, Allah mengijinkan Aini tersadar dan menggerakkan jemarinya. Rabb..sebait harapan pun kembali kami rajut agar Allah berkenan memberikan kesembuhan, walau harapan itu terus menipis seiring kondisinya yang semakin melemah.

Hingga kemudian sang ikhwan pun mengajukan sebuah permintaan kepada keluarga Aini. " Ijinkan saya untuk membantunya menggenapkan setengah Dien ini. Jika Allah berkehendak memanggilnya, maka ia datang menghadap Allah dalam keadaan sudah melaksanakan sunnah Rasulullah..."

Permintaan yang membuat kami semua tertegun. Yakinkah dia dengan keputusannya ? Dalam kedaaan demikian , akhirnya 2 keluarga besar itupun sepakat memenuhi permintaan sang ikhwan. Sang bunda pun membisikkan rencana tersebut di telinga Aini. Dan baru kali itulah ummi melihat aliran airmata mengalir dari sepasang mata jernihnya. Tepat pukul 16.00,
dihadiri seorang penghulu,orangtua dari 2 pihak, serta beberapa sahabat dan dokter serta perawat... pernikahan yang penuh tangis duka itupun dilaksanakan. Tidak seperti pernikahan lazimnya yang diiringi tangis kebahagiaan, maka pernikahan tersebut penuh dengan rasa yang sangat sulit terlukiskan. Khidmat, sepi namun penuh isakan tangis kesedihan. Tepat setelah ijab kabul terucap...sang ikhwan pun mencium kening Aini serta membacakan doa diatas kain perban putih yang sudah berganti warna menjadi merah penuh darah yang menutupi hampir seluruh kepala Aini. Lirih, kami pun masih mendengar Aini berucap, " Tolong
Ikhlaskan saya....."

Hanya 5 menit. Ya..hanya 5 menit setelah ijab kabul itu. Tangisanpun memecah ruangan yang tadinya senyap menahan sesak dan airmata. Akhirnya Allah menjemputnya dalam keadaan tenang dan senyum indah. Dia telah menjemput seorang bidadari... Sungguh indah karunia dan janji yang telah Allah berikan padanya... Dia memang hanya pantas untuk para mujahidNya di Jannah al firdausi....

Dan sang ikhwan pun melepas dengan penuh sukacita dengan iringan tetes airmata yang tidak kuasa ditahannya...
" ..Saya telah menikahi seorang bidadari.. nikmat mana lagi yang saya dustakan..."
Begitulah sang ikhwan shalih mengutip ayat Ar RahmanNya...

Ya Rabb..Engkau sebaik- baik pembuat skenario kehidupan hambaMu..Maka jadikanlah kami senantiasa dapat memngambil hikmah dari setiap episode kehidupan yang Engkau berikan...

Selamat jalan adikku sayang ...engkau memang bidadari surga yang Allah tidak berkenan seorang ikhwan pun didunia ini yang bisa mendampingi kehidupanmu kecuali para ikhwan shalih yang berkhidmat di jalan dakwah dengan ikhlas, tawadhu dan siap berjihad dijalanNya dan kelak menutup mata sebagai seorang syuhada...."

Selamat jalan Aini..semoga Allah memberimu tempat terindah di surgaNya....Semoga Allah kumpulkan kita kelak didalam surgaNya...amiin)

http://
www.uhibbukumfillah.co.
cc/
Http://Akhwatmuslimah.mywapblog.com

MENGGAPAI CINTA IBU

“Bu, ada teman yang mau datang bersilaturahim dengan ibu. Kapan bu ada waktu” Siang itu kuhampiri ibu yang sedang duduk menonton televisi. Ibu tak bereaksi apapun, seakan-akan tak mendengar dan merasakan kehadiranku.
“Bu, teman itu bermaksud datang melamar. Bagaimana kalau…”
“Ibu tak peduli dengan semua urusanmu. Kalau ada apa-apa hubungi saja kakek, biar kakek yang urus semuanya!” Dengan ketus ibu memotong pembicaraanku.
Tanganku yang baru saja kuletakkan di atas tangannya ditepiskannya dengan kasar.
“Tapi ibu kan orang tuaku satu-satunya, mau ngak mau ibu harus tahu urusanku ini. Lagi pula….”
Tak kulanjutkan ucapanku karena ibu telah beranjak pergi Begitu saja. Meski sudah kuduga ibu akan bersikap seperti ini, tapi tak urung air mataku jatuh juga.

Sore itu aku ke rumah kakek, bapaknya ibu. Selama ini beliaulah yang menopang ekonomi keluarga kami sejak bapak meninggal tujuh tahun lalu.

Mulanya kakek menolak. Alasannya aku baru saja menyelesaikan studiku dan belum mengamalkan ilmu yang kuperoleh selama empat tahun.

Malah kakek menawariku pekerjaan. Menjadi front officer di sebuah hotel berbintang milik seorang pengusaha yang kini menjadi orang nomor dua di republik ini. Kakek memang dekat dengan pejabat dan orang penting di daerah kami. Jadi, untuk urusan seperti ini bukanlah hal yang sulit baginya.
“Di sana kamu boleh kok berkerudung. Saya sudah bicara dengan Pak JK dan katanya hal itu bukan masalah,” bujuk kakek yang tahu kalau selama ini aku menolak pekerjaan yang mempersoalkan kerudungku.Tawaran kakek itu kutolak dengan hati-hati.

Sebelumnya aku ditawari teman kerja di bank konvensional. Sama seperti kakek, katanya aku boleh berkerudung. Tapi aku tahu, kalau pun dibolehkan pasti yang dimaksud bukan kerudung selebar yang kupakai sekarang. Apalagi saat ini diam-diam aku telah berniqab (bercadar-red) meski tak seorang pun di keluargaku yang tahu.

Selain itu aku juga sadar, akan banyak pelanggaran syariat yang harus kulakukan jika menerima tawaran itu.

Tapi terus terang sempat terlintas juga kenikmatan yang akan kuperoleh bila mengiyakan tawaran-tawaran tersebut. Dengan materi yang kudapat aku Bisa membantu meringankan beban kakek dan ibu. Apalagi aku masih punya delapan adik yang semuanya bersekolah, dan tentu saja masih sangat membutuhkan banyak biaya. Dan yang paling penting, aku bisa kembali mendapatkan cinta ibu.

Cinta yang hilang sejak aku memutuskan hijrah, setahun yang lalu. Ibu yang selama ini sangat hangat dan mencintaiku, sehingga sering membuat adik-adikku iri, telah berubah dingin dan sangat membenciku.

Mengingat semua itu air mataku kembali menetes. Ya Allah, hanya Engkau  yang tahu betapa inginnya aku membahagiakan orang-orang yang sangat kucintai ini. Orang-orang yang paling berjasa dalam hidupku. Orang-orang yang memang sudah sepantasnya mendapatkan baktiku.

Tapi ya Allah, aku tak sanggup kalau harus kembali berkubang maksiat untuk memperoleh semua itu. Rasanya sudah cukup semua kemaksiatan yang kulakukan selama ini. Aku tak ingin kembali sesat setelah Engkau tunjukkan jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, hanya Engkaulah tempatku mengadu dan
bersandar. “Sudahlah, kalau memang jodohnya biarkan saja. Daripada nanti jadi perawan tua, toh kita juga yang repot!” Nenek yang
selalu mendukungku angkat bicara.

Saat ini hanya beliaulah yang tidak berubah sikap. Malah diam-diam beliau sering memberiku uang, karena tahu kakek telah menghentikan bantuannya padaku.

Alhamdulillah, akhirnya kakek mau mengalah setelah sempat berdebat panjang dengan nenek. Tapi kemudian aku terhenyak ketika kakek menetapkan sejumlah uang yang menurutku cukup besar. Ya Allah, kalau memang ikhwan ini jodohku dan ia baik bagi diri dan agamaku, maka permudahkanlah urusan ini.
**

Pagi itu, tibalah hari yang sangat bersejarah dalam hidupku. Cuaca yang sejak malam bersahabat, mendadak mendung dan gelap.

Sepertinya sebentar lagi turun hujan deras. Tapi gejala alam biasa itu rupanya dimaknai lain oleh sebagian keluargaku. Entah siapa yang memulai, beberapa orang kemudian berinisiatif membuang cabe ke atas genting.
“Biar hujannya tidak jadi turun!” begitu katanya ketika ditanyakan
motifnya. Tapi yang bikin kesal ialah ketika salah seorang tante meminta (maaf) pakaian dalamku untuk dibuang ke genting. Katanya lebih ampuh dari cabe. Tentu saja aku menolak sambil menjelaskan kalau tak ada hubungannya antara pakaian dalam atau cabe dengan hujan. Akhirnya, semua mengomel dengan kekerasanku. Apalagi tak lama kemudian hujan turun deras dibareng dengan angin kencang.

Kami sampai sangat khawatir tenda-tenda akan roboh karenanya. “Percuma, karena sudah terlambat membuangnya. Mestinya sebelum hujan gerimisnya turun.” Lamat-lamat kudengar suara tante menjawab pertanyan adikku.

Aku merasa curiga. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Buru-buru kulongokkan kepalaku di jendela kamar. Di atas genting, kulihat beberapa biji cabe dan tiga lembar pakaian dalamku yang berhasil diambilnya tanpa sepengetahuanku, padahal sejak tante meminta aku telah mengunci lemari pakaianku.

Alhamdulillah hujan deras dan angin kencang berhenti kurang lebih setengah jam sebelum jadwal akad nikah. Di acara ini yang paling banyak berperan adalah teman-teman ikhwan dan akhwat LDK kampus. Selain karena ibu bersikeras tak ingin ikut campur, juga karena untuk pertama kalinya dalam keluargaku diadakan walimahan yang memisahkan antara mempelai wanita dan pria. Jadi, mereka belum tahu tata caranya. Ada baiknya juga sikap keluar yang menyerahkan jalannya acara sepenuhnya padaku, meski suara suara sumbang tetap terdengar.Alhamdulillah, di walimahan ini tak ada musik maupun foto-foto. Semuanya berjalan sederhana dan sesuai syariat seperti keinginan kami.

Hampir sejam kemudian rombongan mempelai pria datang. Akad nikah pun segera dilaksanakan. Setelah itu kami pun dipertemukan. Hanya sebentar, karena keluarga suamiku memaksa masuk untuk melihatku. Suamiku hanya sempat meletakkan tangannya di dahiku sembari berdoa dan setelah itu bergegas keluar diikuti yang lainnya. Aku pun bergerak keluar kamar. Dengan dituntun tante dan seorang akhwat aku menuju ke barisan orang tua untuk sungkeman. Ketika giliran ibu, beliau mendorong tubuhku sehingga aku hampir jatuh dibuatnya. Aku menangis diperlakukan seperti itu. Kucoba mendekati ibu lagi, tapi teman yang melihat gelagat tidak baik segera menarikku sembari membisikkan agar aku sabar.

Aku pun dituntun untuk langsung menuju pelaminan. Dengan menahan air mata dan rasa sesak di dada, kupaksakan kakiku melangkah. Sikap ibu berlanjut dengan penolakannya menemuiku di pelaminan. Alhasil aku hanya berdua dengan nenek disana.

Sore harinya, sat semua sibuk membereskan rumah, adik bungsuku datang menghampiriku. Dengan pelan ia menyampaikan pesan ibu. Katanya aku tak boleh lagi tinggal di rumah ini bila sudah menikah. Katanya, mulai sekarang aku bukan lagi tanggung jawab ibu karena sudah ada yang menanggungku.
“Iya aku tahu kok, bilang ke ibu secepatnya kami akan pindah,” jawabku berusaha bersikap biasa.
Aku berusaha menahan gejolak hatiku yang tiba- tiba sesak, menyadari betapa bencinya ibu padaku, padahal sebelumnya akulah anak kesayangannya. Kehijrahanku telah membuat ibu berubah sangat drastis. Hanya dua hari kami berada di rumah ibu. Kemudian aku pun pindah ke rumah mertua.

Disana aku disambut baik. Sangat baik malah. Maka mulailah aku berinteraksi dengan keluarga baruku, sambil belajar menyelami watak masing-masing dan senantiasa berusaha menjadi anggota keluarga yang baik.

Sementara ibu tetap dengan sikap dinginnya. Walaupun demikian aku tetap berusaha menyempatkan waktu mengunjunginya. Beliau lebih banyak diam, tapi pada suamiku sudah mau “membuka mulut”. Aku pun senantiasa berdoa agar Allah membuka hatinya dan menerimaku sehangat dulu lagi.

Sekitar dua tahun aku tinggal di rumah mertua. Suami yang seorang thalibul ‘ilmi mendapat tugas dakwah di daerah. Maka kami pun pindah menjalankan amanah yang baru pertama kalinya dibebankan pada suamiku.

Kini enam tahun telah berlalu, alhamdulillah sikap ibu telah membaik. Beliau kembali hangat karena kami telah membuktikan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan hijab syar’i-ku. Salah satu penyebab sikap keras ibu selama ini, beliau takut dikucilkan para tetangga karena anaknya berbeda dari yang lainnya.

Alhamdulillah aku berhasil membuktikan pada para tetangga bahwa meski berhijab, aku dan suamiku senantiasa menjaga silaturrahim dengan mereka bila kami datang mengunjungi ibu. Malah kini mereka terkadang meminta nasehat dan menanyakan hal-hal yang masih menjadi tanda tanya tentang dakwah salaf ini.

Ya Allah, terima kasih atas semua nikmat yang telah Engkau anugerahkan pada kami. Berilah kami kekuatan dan kemampuan untuk terus mendakwahkan manhaj salaf ini agar mereka yang belum mengerti dapat paham dan mengamalkannya sebagai satu-satunya jalan untuk meraih ridha-Mu. Amin.
(Ummu Abdillah, Sulsel)

Sumber : http://akhwatmuslimah.mywapblog.com

Kamis, 19 November 2015

KEPENTOK JODOH

Ini mungkin sebuah kisah ta'aruf yang aneh, atas izin Allah. Aku ta'aruf dengan orang yang sama di tiga tempat berbeda.
Dan ta'aruf yang terakhir kami baru "jadian". 

Lulus SMU, aku masuk ke sebuah universitas dan selanjutnya aktif di organisasi islam.

Hobi organisasi dan bertemu dengan orang tersalur di sini. Aktif hampir di seluruh kegiatan kampus membuatku banyak di kenal orang, baik sesama aktivis atau bukan.

Di antara aktivis organisasi, yang namanya cinta lokasi sudah biasa.
Itu di luar aktivitas positif organisasi, heboh beritanya tak kalah dengan selebritis. Dari yang putus sambung, gagal total, sampai yang sukses di pelaminan adalah berita yang biasa mampir di telinga ku dan rekan lain.
Ikhtilat membuat cinta lokasi tumbuh subur di organisasi. Aku tak kaget dengan semua itu. Tapi aku memang tak tertarik sama sekali mengikuti teman-teman yang lain.

Aku bayangkan cinta itu pasti sakit. Buktinya Wenda, Neni, Nia Rasti tiba-tiba datang ke kost ku di waktu yang berbeda. Ada yang cemberut, berteriak histeris, menangis, hingga membuat bantal ku basah kuyup. Dan pastinya membuat ku punya pekerjaan tambahan, momong mereka hingga tangis nya mereda dan.... mencuci sarung bantal.
Ah, begitu repot nya berurusan dengan cinta. orang lain bisa di buat sibuk karena nya.

Tahun keempat kuliah aku mulai mengenal manhaj salaf. Tapi belum istiqamah. Aku masih saja aktif di organisasi itu. Namun mulai sedikit demi sedikit menerapkan manhaj salaf. Seperti mulai mengatur jarak dengan lawan jenis. Dan mungkin ini yang membuat teman-teman ku "heboh".
Mereka menganggap aku berubah. Perubahan ku ini ternyata menarik seorang ikhwan di organisasi ku. Dia meminta tolong pada teman untuk menyampaikan keinginan nya. Ku terima selembar kertas biodata untuk menghormati nya. Sayang, setahuku ikhwan itu masih merokok. Sementara aku meyakini bagaimana syariat memandang rokok. Ta'aruf itu berakhir. Hingga selesai kuliah aku tak pernah lagi menjalani proses ta'aruf.

Rampung kuliah, aku merantau keluar kota, setelah usaha ku melamar kerja di kota kelahiran ku menemui jalan buntu.
Meski sebenarnya berat, tapi tuntutan ekonomi harus membuat ku mengalah. Tiga adik ku masih banyak butuh biaya.
Sementara bapak tak lagi bisa diharapkan setelah mengalami kecelakaan kerja. Bapak hanya bisa bekerja seadanya. Sebagai anak sulung bapak memasrahkan semua tanggung jawab itu pada ku. Tega tak tega Bismillah. meski batin menangis, aku mantap melangkahkan kaki berburu rezeki. Bapak menghantarkan ku ke kota tujuan. Meminta maaf atas ketidak berdayaannya menjadi kepala keluarga dan mengucapkan terima kasih atas kesediaan ku menggantikan nya. Hatiku haru dan teriris mendengar kata bapak. Ya Allah jagalah semua orang yang kucintai dan jagalah aku di rantau.

Aku bersyukur, di kota rantau aku bisa menemukan majlis taklim. Jika libur atau shift, aku menyempatkan diri mengikutinya. jadi, waktu ku tak terbuang sia-sia. Di tahun pertama aku bekerja, ajakan ta'aruf kuterima lagi.
Ikhwan kenalan teman di tempat kerja. Aku mengiyakan setelah di desak. Aku tak banyak bertanya saat itu.

Esok nya saat ku baca biodata itu, aku kaget, ikhwan ini ternyata adalah ikhwan pertama yang pernah ta'aruf denganku.
Hatiku masih berat menerimanya, aku ingin mencari laki-laki yang sekufu denganku. Alhamdulillah ikhwan itu faham meski sama-sama kaget sepertiku. Jauh dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa ta'aruf dengan ikhwan ini lagi? kami tak saling tahu keberadaan kami. Subhanallah aku tersenyum, hingga membuat teman ku yang masih awam terheran-heran. Aku menepuk punggungnya dan berlalu.

"Mbak tidak jadi nikah kok malah tertawa?!"

masuk tahun ketiga aku di kota rantau, Alhamdulillah ekonomi keluarga di kampung sudah membaik.ibu bisa membuka toko lumayan besar dari uang yang ku kirim.

Hampir seperti mini market kampung.
Aku cukup puas melihat nya saat pulang. Adikku membuka rental komputer dan kursus. ku syukuri jerih payah ku tak sia-sia, keluarga ku amanah dengan uang yang kukirim. mereka tidak memakainya untuk hambur-hamburan, di saat orang lain banyak melakukannya.

Usai libur cuti kerja, aku kembali ke kota.
Sebelumnya aku telah berjanji dengan seorang teman kerja yang baru ikut mengaji bersamaku, untuk menjemput dan bersama kembali ke kota. Di atas bus kami ngobrol panjang, sampai kemudian ia menawariku untuk menikah.

"la teman kakak di bandung. Kakak menawarkan padaku tapi kamu tahu sendiri, aku sedang proses dengan ikhwan lain. Dah "ngaji" dan kerja di instansi mapan. Kata kakakku, dia juga punya usaha yang di kelola karyawannya."

"Ya, boleh. Insya Allah aku coba dulu," jawabku.

"Biodata nya ntar kalau sudah sampai kontrakan ya..."

Aku mengangguk.
Malam sebelum tidur, teman ku menyodorkan kertas biodata ikhwan.

"Nich Mbak, calon pangeranmu. Jangan menolak ya, menyesal tahu rasa," ucapnya bercanda.

Tawaku tak terbendung. Kertas di tangan ku terguncang-guncang.

Masya Allah, begini ya kalau Allah punya kehendak. Pergi kemana saja, di mana saja yang datang ta'aruf orang yang sama. Dia lagi dia lagi. Dari saat masih di kampus, awal aku kerja, dan sekarang saat aku di rumah. Tapi kali ini aku tak akan menolak nya lagi.

Ikhwan itu menjemput ku satu setengah bulan kemudian. Kami menikah dengan sederhana. Alhamdulillah banyak teman yang mendoakan kami. Aku keluar dari tempat kerja. Sahabat ku menyusul dua pekan kemudian. Kini, 5 orang buah hati menghiasi rumah kami. Semoga kami selalu dalam lindungan Allah dan selalu meghias keluargaku dengan samara.

NB: salam untuk Nun di kota hujan.

Sumber: 

Majalah nikah Sakinah volume 11, no. 11

Akhwatmuslimah.mywapblog.com 

Rabu, 18 November 2015

Rasa Indah Tak Sepantasnya untuk Diumbar

Indah dan berbunga-bunga kala rasa itu datang. Aku telah mengalaminya berulang kali.

Sekedar rasa yang lewat, rasa yang manusiawi. Jangankan melihat orangnya baru melihat sandalnya saja sudah senang luar biasa.

Begitupun saat menginjak bangku SLTP, aku pernah punya rasa. Sekali lagi sekedar rasa. Tapi itu sudah cukup membuatku pusing.

Tak doyan makan, tak bisa tidur, tak konsen belajar , bengong di kelas, melamun di atas sepeda sampai masuk sungai, dan tiba-tiba aku suka dandan ... Masya Allaah, sebegitunya.

Syukur, Alhamdulillaah rasa itu tak pernah kesampaian. Karena aku tahu, rasa itu memang tak sepantasnya ada.

Bukan tak boleh, kata ummi. Rasa indah itu, tak boleh di umbar sembarangan. Ada aturan saat yang tepat dan ‘’prosedur’’ sayar’i, begitu kata ummi. Dan itu akan datang pada waktunya.

Aku tetaplah seorang remaja. Meski ummi selalu mengingatkanku, tapi rasa penasaranku tetap saja muncul. Ada keinginan backstreet diam-diam ...hmm kayaknya seru juga. Setan terus saja menghembuskan hal-hal indah tentang Adam. Aku harus sering menghalaunya dengan istighfar. Bukan karena kata Ummi, tapi karena aku mulai lebih memahami hukum berhubungan dengan lawan jenis. Ah, tetap saja susah. Alhamdulillaah, aku bisa bertahan sampai kini ...

Bangku kuliah tinggal skripsi. Aku harus rajin berburu informasi dan data untuk skripsiku. Benar-benar menguras energi. Hari itu aku masih ingat harus menemui seorang nara sumberku, seorang wanita di perusahaan provit. Qadarullaah, baru beberapa menit ngobrol, beliau ada tugas mendadak. Dari ponselnya ia tampak menghubungi seseorang untuk menggantikannya menemuiku dan memberikan informasi yang kubutuhkan.

Setelah mengucap maaf padaku, beliau meninggalkanku dan memintaku menunggu seseorang yang akan menggantikannya menemuiku. Menunggu agak lama membuatku sedikit gelisah, hingga kusibukan diriku membaca majalah-majalah di meja. Baru saja hendak ku buka lembaran berikutnya, seorang pria berpenampilan rapi masuk. Tapi kemudian berbalik lagi dengan cepat. Aku segera tersadar mungkin ia tak menduga aku bercadar atau mungkin ia berpikir salah menemui orang. Sesaat berikutnya ada suara di balik pintu.

‘’Afwan anda yang mau buat skripsi?”

“Ya, jawabku”.

Informasi berikutnya kudapat dari balik pintu, dengan di temani karyawati kantor yang di mintanya masuk menemaniku. Alhamdulillaah, skripsiku sukses akhirnya.

Selepas skripsi, aku masih berhubungan dengan pemilik perusahaan provit itu. Qadarullaah, kami nyambung. Dan ternyata pula, keluarga besarnya banyak yang tinggal di kota kelahiran abi di timur pulau jawa, beda desa satu kecamatan. Kami jadi akrab dan sering bertemu.

Dari beliau pula, aku di kenalkan dengan karyawan pavoritnya. Beliau sering menceritakan awal usaha yang di bantu oleh karyawannya ini. Aku sedikit terkejut ketika beliau bilang, karyawan pavoritnya adalah yang menemuiku dulu.

“Pasti sudah ketemu dan ngobrol banyak ya? Atau cuma dari balik pintu?” Beliau rupanya tahu. Tapi sedekat dan sedetail inikah? Beliau malah tertawa.

“Dia anak kakak saya. Pintar, gesit, dan tanggung jawab pada pekerjaan. Dia sempat tanya kamu dari mana lho.”

Pipiku seolah terbakar. Dan .... rasa itu, debar itu .... astaghfirullaah datang lagi. Tapi kali ini aku lebih bisa mengontrol diri dan perasaanku. Aku hanya tersenyum bahkan nyaris menahan tawa dengan canda beliau.

Ketukan pintu di kamar kos mengejutkanku. Ternyata Bu Za, pemilik perusahaan provit itu datang ke kosku. Jelas itu mengejutkanku. Meski bilang mampir, tapi sepertinya ada hal yang ingin di bicarakan. Rasanya tak mungkin beliau mampir begitu saja. Tiba-tiba beliau menyinggung soal pernikahan. Menceritakan bagaimana bahagianya beliau jadi seorang ibu sekaligus istri.

“Belum Pengin nikah? Nikah itu enak lho....”

Aku tergelak sesaat sebelum beliau melanjutkan.

“Kalau mau Ibu kenalkan kamu ke seseorang mau? In syaa Allaah baik. Ibu tahu seleramu lho”

Kali ini aku kian tergelak.

“Malah tertawa, ibu benar-benar serius lho.” Kata Bu Za memotong tawaku.

Pulang ke kos aku teringat obrolan pernikahan bu Za. Aku telepon ummi. Jawaban beliau di luar dugaanku.

“Tafadhal, biar ummi gak kepikiran kamu di luar kota. In syaa Allaah, itu yang terbaik. Kamu jadi ada yang jagain. Abi boleh juga tuh. Kerja belakangan, sambil jalan.”

Subhanallaah. Rasa itu kini benar-benar hadir, rasa yang sesungguhnya. Pria keponakan Bu Za yang menjadi suamiku. Alhamdulillaah, aku akhirnya menikah. Rasa itu akhirnya terwujud, di tempat yang seharusnya. Rasa yang halal dan di ridhai Allaah. In syaa Allaah.

Kami menikah sebulan kemudian. Alhamdulillaah, kami telah di karuniai empat buah hati yang sehat dan lucu sekarang. Jazakillaah khair untuk ummi yang selalu meneguhkanku dengan nasihatnya. Sungguh, jika ummi tak selalu mengingatkanku untuk berlabuh di tempat yang seharusnya, entah sudah jadi apa diriku kini. Syukur tiada henti, ketika kudapat melabuhkan rasaku di tempat yang agung & suci. Semoga sakinah, mawadah, wa rahmah selalu mewarnai keluarga kecil yang kubina di jalan Allaah.

Sumber: Kisah ta’aruf, Majalah Nikah Sakinah volume 11, No.7

Selasa, 17 November 2015

Jeritan sang anak yang tenggelam terdengar oleh ayah sang imam mesjid


Umur siapa yang tahu, demikian juga seorang pemuda, bagaimanapun kuatnya juga tak bisa mengelak dari hal tersebut. Kisah nyata ini diceritakan sendiri oleh pelakunya dan pernah disiarkan oleh Radio Al Qur’an di Makkah al Mukarramah. Kisah ini terjadi pada musim haji dua tahun yang lalu di daerah Syu’aibah, yaitu daerah pesisir pantai laut merah, terletak 110 Km di Selatan Jeddah.

Pemilik kisah ini berkata: Ayahku adalah seorang imam masjid, namun demikian aku tidak shalat. Beliau selalu memerintahkan aku untuk shalat setiap kali datang waktu shalat. Beliau membangunkan ku untuk shalat subuh. Akan tetapi aku berpura-pura seakan-akan pergi ke masjid padahal tidak. Bahkan aku hanya mencukupkan diri dengan berputar-putar naik mobil hingga jama’ah selesai menunaikan shalat. Keadaan yang demikian terus berlangsung hingga aku berumur 21 tahun. Pada seluruh waktuku yang telah lewat tersebut aku jauh dari Allah dan banyak bermaksiat kepada-Nya. Tetapi meskipun aku meninggalkan shalat, aku tetap berbakti kepada kedua orang tuaku. Inilah sekelumit dari kisah hidupku di masa lalu.

Pada suatu hari, kami sekelompok pemuda bersepakat untuk pergi rekreasi ke laut. Kami berjumlah lima orang pemuda. Kami sampai di pagi hari, lalu membuat tenda di tepi pantai. Seperti biasanya kamipun menyembelih kambing dan makan siang. setelah makan siang, kamipun mempersiapkan diri turun ke laut untuk menyelam dengan tabung oksigen. sesuai aturan, wajib ada satu orang yang tetap tinggal di luar, di sisi kemah, hingga dia bisa bertindak pada saat para penyelam itu terlambat datang pada waktu yang telah ditentukan. Akupun duduk, dikarenakan aku lemah dalam penyelaman. Aku duduk seorang diri di dalam kemah, sementara disamping kami juga terdapat sekelompok pemuda yang lain. Saat datang waktu shalat, salah seorang diantara mereka mengumandangkan adzan, kemudian mereka mulai menyiapkan shalat. Aku terpaksa masuk ke dalam laut untuk berenang agar terhindar dari kesulitan yang akan menimpaku jika aku tidak shalat bersama mereka. Karena kebiasaan kaum muslimin di sini adalah sangat menaruh perhatian terhadap shalat berjamaah dengan perhatian yang sangat besar, hingga menjadi aib bagi kami jika seseorang shalat fardhu sendirian. Aku sangat mahir dalam berenang. Aku berenang hingga merasa kelelahan sementara aku berada di daerah yang dalam. AKu memutuskan untuk tidur diatas punggungku dan membiarkan tubuhku hingga bisa mengapung di atas air. Dan itulah yang terjadi. Secara tiba-tiba, seakan-akan ada orang yang menarikku ke bawah… aku berusaha untuk naik…..aku berusaha untuk melawan….aku berusaha dengan seluruh cara yang aku ketahui, akan tetapi aku merasa orang yang tadi menarikku dari bawah menuju ke kedalaman laut seakan-akan sekarang berada di atasku dan menenggelamkan kepalaku ke bawah. Aku berada dalam keadaan yang ditakuti oleh semua orang.

Aku seorang diri, pada saat itu aku merasa lebih lemah daripada lalat. Nafaspun mulai tersendat, darah mulai tersumbat di kepala, aku mulai merasakan kematian! Tiba-tiba, aku tidak tahu mengapa…aku ingat kepada ayahku, saudara- saudaraku, kerabat-kerabat dan teman- temanku… hingga karyawan di toko pun aku mengingatnya. Setiap orang yang pernah lewat dalam kehidupanku terlintas dalam ingatanku… semuanya pada detik-detik yang terbatas… kemudian setelah itu, aku ingat diriku sendiri..!.!! Mulailah aku bertanya kepada diriku sendiri… apa engkau shalat? Tidak. Apa engkau puasa? Tidak. Apa engkau telah berhaji? Tidak. Apa engkau bershadaqah? Tidak. Engkau sekarang di jalan menuju Rabbmu, engkau akan terbebas dan berpisah dari kehidupan dunia, berpisah dari teman-temanmu, maka bagaimana kamu akan menghadap Rabb-mu? Tiba-tiba aku mendengar suara ayahku memanggilku dengan namaku dan berkata: “Bangun dan shalatlah.” Suara itupun terdengar di telingaku tiga kali. Kemudian terdengarlah suara beliau adzan. Aku merasa dia dekat dan akan menyelamatkanku. Hal ini menjadikanku berteriak menyerunya dengan memanggil namanya, sementara air masuk ke dalam mulutku. Aku berteriak….berteriak…tapi tidak ada yang menjawab.

Aku merasakan asinnya air di dalam tubuhku, mulailah nafas terputus-putus. Aku yakin akan mati, aku berusaha untuk mengucapkan syahadat….kuucapkan Asyhadu…Asyhadu…aku tidak mampu untuk menyempurnakannya, seakan-akan ada tangan yang memegang tenggorokanku dan menghalangiku dari mengucapkannya. Aku merasa bahwa nyawaku sudah dalam perjalanan keluar dari tubuhku. Akupun berhenti bergerak…inilah akhir dari ingatanku. Aku terbangun sementara kau berada di dalam kemah…dan di sisiku ada seorang tentara dari Khafar al Sawakhil (penjaga garis batas laut), dan bersamanya para pemuda yang tadi mempersiapkan diri untuk shalat. Saat aku terbangun, tentara itu berkata:”Segala puji bagi Allah atas keselamatan ini.” Kemudian dia langsung beranjak pergi dari tempat kami. Aku pun bertanya kepada para pemuda tentang tentara tersebut. Apakah kalian mengenalnya? Mereka tidak mengetahuinya, dia datang secara tiba-tiba ke tepi pantai dan mengeluarkanmu dari laut, kemudian segera pergi sebagaimana engkau lihat, kata mereka. Akupun bertanya kepada mereka: “Bagaimana kalian melihatku di air?” Mereka
menjawab,”Sementara kami di tepi pantai, kami tidak melihatmu di laut, dan kami tidak merasakan kehadiranmu, kami tidak merasakannya hingga saat tentara tersebut hadir dan mengeluarkanmu dari laut.”

Perlu diketahui bahwa jarak terdekat denga Markas Penjaga Garis Laut adalah sekitar 20 Km dari kemah kami, sementara jalannya pun jalan darat, yaitu membutuhkan sekitar 20 menit hingga sampai di tempat kami sementara peristiwa tenggelam tadi berlangsung dalam beberapa menit. Para pemuda itu bersumpah bahwa mereka tidak melihatku. Maka bagaimana tentara tersebut melihatku? Demi Rabb yang telah menciptakanku, hingga hari ini aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai kepadaku. seluruh peristiwa ini terjadi saat teman-temanku berada dalam penyelaman di laut. Ketika aku bersama para pemuda yang menengokku di dalam kemah, HP-ku berdering. segera HP kuangkat, ternyata ayah yang menelepon. Akupun merasa bingung, karena sesaat sebelumnya aku mendengar suaranya ketika aku di kedalaman, dan sekarang dia menelepon? Aku menjawab….beliau menanyai keadaanku, apakah aku dalam keadaan baik? Beliau mengulang-ulangnya, berkali-kali. Tentu saja aku tidak mengabarkan kepada beliau, supaya tidak cemas. Setelah pembicaraan selesai aku merasa sangat ingin shalat. Maka aku berdiri dan shalat dua rakaat, yang selama hidupku belum pernah aku lakukan. Dua rakaat itu aku habiskan selama dua jam. Dua rakaat yang kulakukan dari hati yang jujur dan banyak menangis di dalamnya. Aku menunggu kawan- kawanku hingga mereka kembali dari petualangan. Aku meminta izin pulang duluan.

Akupun sampai di rumah dan ayahku ada di sana. Pertama kali aku membuka pintu, beliau sudah ada di hadapanku dan berkata: “Kemari, aku merindukanmu!” Akupun mengikutinya, kemudian beliau bersumpah kepadaku dengan nama Allah agar aku mengatakan kepada beliau tentang apa yang telah terjadi padaku di waktu Ashar tadi. Akupun terkejut, bingung, gemetar dan tidak mampu berkata-kata. Aku merasa beliau sudah tahu. Beliau mengulangi pertanyaannya dua kali. Akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi padaku. Kemudian beliau berkata:”Demi Allah, sesungguhnya aku tadi mendengarmu memanggilku, sementara aku dalam keadaan sujud kedua pada akhir shalat Ashar, seakan- akan engkau berada dalam sebuah musibah. Engkau memanggil-manggilku dengan teriakan yang menyayat-nyayat hatiku. Aku mendengar suaramu dan aku tidak bisa menguasai diriku hingga aku berdo’a untukmu dengan sekeras- kerasnya sementara manuisa mendengar do’aku. Tiba-tiba, aku merasa seakan-akan ada seseorang yang menuangkan air dingin di atasku. Setelah shalat, aku segera keluar dari masjid dan menghubungimu. Segala puji bagi Allah, aku merasa tenang bagitu mendengar suaramu. Akan tetapi wahai anakku, engkau teledor terhadap shalat. Engkau menyangka bahwa dunia akan kekal bagimu, dan engkau tidak mengetahui bahwa Rabbmu berkuasa merubah keadaanmu dalam beberapa detik. Ini adalah sebagian dari kekuasaan Allah yang Dia perbuat terhadapmu. Akan tetapi Rabb kita telah menetapkan umur baru bagimu. Saat itulah aku tahu bahwa yang menyelamatkan aku dari peristiwa tersebut adalah karena Rahmat Allah Ta’ala kemudian karena do’a ayah untukku. Ini adalah sentuhan lembut dari sentuhan-sentuhan kematian. Allah Ta’ala ingin memperlihatkan kepada kita bahwa betapapun kuat dan perkasanya manusia akan menjadi makhluk yang paling lemah di hadapan
keperkasaan dan keagungan Allah Ta’ala.

Maka semenjak hari itu, shalat tidak pernah luput dari pikiranku. Alhamdulillah. Wahai para pemuda, wajib atas kalian taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ya Allah, ampunilah kami dan kedua orang tua kami, terimalah taubat kami dan taubat mereka dan rahmatilah mereka dengan rahmat-Mu.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban ibadah kita walaupun kelihatannya sepele.
# Inspirasi # Motivasi
http://homestyler.us/

(Syamsu Rizal)

Masuk islam; dokter kandungan kagum dengan aturan islam

Dokter Orivia mengisahkan sebuah kejadian yang begitu berkesan bagi dirinya, sehingga kejadian itu membuatnya masuk ke dalam agama Islam. Ia mengisahkan…

Aku adalah dokter spesialis kandungan di sebuah rumah sakit di Amerika. Suatu hari, datang seorang perempuan Arab muslimah ke rumah sakit tempatku bekerja, wanita itu hendak melahirkan. Setelah beberapa saat menunggunya, waktu jagaku habis, lalu aku berpamitan kepadanya untuk pulang ke rumah dan kusampaikan bahwa ada seorang dokter laki-laki yang akan menggantikanku bertanggung jawab atas persalinannya.

Tiba-tiba perempuan itu bersedih, kemudian menangis dan mulai sedikit histeris. Ia mengatakan, “Tidak!, aku tidak ingin dokter laki-laki.”

Aku pun heran dengan perempuan ini, lalu suaminya memberitahukan kepadaku bahwa dia tidak mau ada seorang laki-laki asing yang melihatnya. Seumur hidupnya tidak ada seorang laki-laki pun yang pernah melihat wajahnya kecuali ayahnya, saudara-saudara laki-lakinya, paman-pamannya (mahramnya).

Ucapan suaminya itu membuatku tertawa keheranan, malah aku mengira tidak ada seorang laki-laki di Amerika (yang mengenalku pen.) yang belum pernah melihat wajahku. Namun aku menuruti permintaan mereka untuk menemani persalinan istrinya.

Di hari berikutnya, aku menemui mereka kembali untuk memeriksa keadaan sang istri pasca melahirkan. Lalu kuberitahukan kepada mereka bahwa setelah melahirkan kebanyakan wanita di Amerika mengalami infeksi internal dan demam. Hal itu dikarenakan mereka melakukan hubungan suami istri setelah melahirkan. Oleh karena itu, aku nasihatkan kepada mereka hendaknya tidak melakukan hubungan suami istri minimal di 40 hari pertama. Dan selama 40 hari ini hendaknya memakan makanan yang bergizi dan tidak sibuk beraktivitas karena kondisi tubuh yang masih lelah pasca melahirkan.

Muslimah ini menanggapi saran-saranku dengan mengatakan, Islam memang menetapkan aturan demikian, yakni tidak boleh berhubungan suami istri selam 40 hari setelah melahirkan (nifas) hingga wanita tersebut suci kembali. Dan mereka pun diberikan keringanan untuk tidak shalat dan puasa.

Luar biasa! Ucapannya ini benar-benar membuatku kagum bercampur heran. Islam telah mengajarkan demikian, dan kami (orang-orang non-Islam) baru mengetahuinya setelah melakukan berkali-kali penelitian panjang. Kekagumanku tidak berhenti sampai di situ, ketika kukatakan agar bayi hendaknya tidur dengan sisi kanannya, karena yang demikian itu lebih baik untuk detak jantungnya. Lalu mereka mengatakan, demikianlah memang yang disunnahkan Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku mengambil spesialis kandungan untuk mempelajari lebih detil lagi tentang masalah melahirkan dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Kita (para dokter) menghabiskan umur kita untuk mempelajari ilmu kedokteran ini, ternyata umat Islam telah mengetahuinya dari agama mereka.

Sejak saat itu aku mulai menekuni mempelajari agama Islam. Aku ambil cuti beberapa bulan lalu pergi ke kota lain di Amerika dimana terdapat Islamic Center yang besar. Aku habiskan hari-hariku di tempat itu untuk bertanya-jawab dan mengkaji tentang Islam serta bergaul dengan orang-orang Islam baik dari kalangan Arab atau Amerika sendiri. Alhamdulillah.. setelah beberapa bulan mengkaji aku menyatakan keislamanku dengan dua kalimat syahadat.

Sumber: islamstory.com

Bakti Seorang Anak Kepada Ibunya yang Memiliki Keterbelakangan Mental

Oleh : Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairy

Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya…
Hingga aku tidak dapat menahan diri saat mendengarnya…
Aku pun menangis karena tersentuh kisah tersebut…

Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan :“Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usiake ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit.

Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya…

Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang ku ajukan.

Pemuda itu menjawab :“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”

Keingintahuanku mendorongku untuk bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya?”Ia menjawab : “Aku”

Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”

Ia menjawab : “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai. Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. Aku masukkanpakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya”

Aku bertanya : “Mengapa engkau tidak mencarikan untuknya pembantu?”

Ia menjawab : “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dengan ibuku”

Aku terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar..

Aku pun bertanya : “Apakah engkau sudah beristri?”

Ia menjawab : “Alhamdulillah,aku sudah beristri dan punya beberapa anak”

Aku berkomentar : “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”

Ia menjawab : “Istriku membantu semampunya,dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibuku. Aku telah mendatangkan pembantu untuk istriku agar dapat membantu pekerjaannya. Akan tetapi aku berusaha selalu untuk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”

Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”

Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”

Aku semakin takjub dengan pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…

Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi : “Siapa yang memotong kuku-kukunya?”

Ia menjawab : “Aku. Dokter, ibuku tidak dapat melakukan apa-apa”

Tiba-tiba sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”

Ia menjawab : “Tenanglah ibu, sekarang kita akan pergi ke kedai”

Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang…sekarang!”

Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihatanak-anakku gembira…”

Aku sangat tersentuh dengan kata-katanya…

dan aku pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.Lalu aku bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara?”

Ia menjawab : “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”

Aku bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah?”

Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal – semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”

Aku bertanya : “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan Anda? Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”

Ia menjawab : “Dokter…sejak aku lahir ibu tidak mengerti apa-apa…kasihandia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”

Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya…

Ia memegang tangan ibunya dan berkata

“Mari kita ke kedai..”

Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”

Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…

Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”

Ibu itu menjawab dengan girang : “Agar aku bisa naik pesawat!”

Aku pun bertanya pada putranya : “
Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”

Ia menjawab : “Tentu…aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”

Aku katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”

Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.

Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku.

Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat…
Padahal sebenarnya aku tidak tahan lagi menahan tangis haru…

Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku…

Aku berkata dalam diriku :
“Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tidak pernah menjadi ibu sepenuhnya…
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…

Ibunya tidak pernah merawatnya…
Tidak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…
Tidak pernah menyuapinya ketika masih kecil…
Tidak pernah begadang malam…
Tidak pernah mengajarinya…
Tidak pernah sedih karenanya…
Tidak pernah menangis untuknya…
Tidak pernah tertawa melihat kelucuannya…
Tidak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…
Tidak pernah….dan tidak pernah…!
Walaupun demikian…
pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”.

Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat….seperti bakti pemuda itu pada ibunya yang memiliki keterbelakangan mental???.

[اقتطعه واتساب]

Dari FB Abu Wafa Andri