Minggu, 22 April 2012

Jangan Lewatkan Hari Tanpa Muhasabah (1)


SEDARI kita mencapai usia akil baligh  hingga sisa nafas hari ini sudahkah pikiran terbetik bahwa kita memiliki hutang kepada Allah SWT yang tak terbayar? Pernakah di sela-sela waktu kosong dan senggang kita berfikir, “sudah berapa dosa yang telah aku perbuat sejak lahir hingga sekarang?”

Setidaknya, pernahkah ketika hari menjelang malam, ketika kita akan menutup mata di pembaringan untuk istirahat, kita mengingat-ingat amalan buruk kita selama sehari ini? “Apa tindakan buruk hari ini? Siapa yang aku sakiti hari ini? Dan apa kira-kira dosaku hari ini?”

Ataukah jangan-jangan, kita termasuk orang yang merasa cukup dengan pengabdian dan amal yang kita lakukan?

Coba bandingkan diri kita dengan Rasulullah SAW, sosol yang sudah jelas-jelas dijamin syurga dan kehidupan akhiratnya oleh Allah. Beliau masuk melakukan introspeksi diri sehari dengan memohon ampunan selama seratus kali (HR. Muslim). Dalam riwayat Imam Bukhari disebut tujuh puluh kali.

Istighfar dan muhasabah Rasulullah SAW seperti tersebut merupkan sikap syukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat yang diberikan sekaligus sebagai contoh untuk umatnya. Nabi SAW adalah pribadi yang ma’shum bebas dari dosa. Meski begitu menurut sebagian ulama’, disamping sebagai uswah,  istighfarnya adalah untuk perkara-perakara yang mubah dilakukan Rasulullah SAW, bukan untuk kesalahannya. Maka, kita mestinya lebih banyak lagi melakukan penyadaran diri ini. Karena kita manusia yang tidak ma’shum, tidak memiliki jaminan di akhirat kelak.

Jika kita yang manusia biasa, tidak sekalipun bermuhasabah dalam sehari, maka kita sesungguhnya dalam keadaan ’tidur’. Tidak melihat sedang dimana kita, siapa kita dan akan kemana nantinya diri ini. Atau kita adalah orang sombong, sehingga tidak perlu bermuhasah.

Umar bin Khattab r.a pernah berkata: ”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”

Melakukan muhasabah dalah bertujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan yang ia lakukan. Sehingga, hal tersebut menjadi evaluasi yang menjadi pendorong menjadi lebih baik lagi.

Akan tetapi tujuan tertinggi dari hal tersebut adalah menjadi mu’min sejati yang diridlai-Nya. Cita-cita menjadi mu’min sejati dapat digapai dengan proses penyadaran diri yang disebut muhasabah. 
(sumber: www.wahdah.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk berkomentar. Silahkan...