Selasa, 24 April 2012

Jangan Lewatkan Hari Tanpa Muhasabah (End)

Pilar Muhasabah

Sesungguhnya muhasabah itu dilakukan terus menerus. Ia bagian dari pertaubatan diri. Sehinggi dibutuhkan konsistensi dan keteguhan. Sebab jalan itu licin, banyak duri dan penuh cobaan.

Maka perlu ada penopang untuk meneguhkan konsistensi muhasabah. Abu Isma’il dalam Manazilu al-Sa’irin seperti dikutip Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madariku al-Salikin mengatakan ada tiga pilar yang menopang muhasabah yang perlu kita kerjakan setiap kita melakukan instrospeksi;

  1. Menimbang antara nikmat Allah dan kemaksiatan kita. Saat muhasabah kita akan mengetahui ketimpangan antara keduanya.  Bahwa ternyata kejahatan yang kita lakukan jauh lebih banyak dibanding karunia nikmat Allah yang kita peroleh. Dengan membandingkan itu kita bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang dominan di antara keduanya. Untuk bisa melakukan perbandingan dengan baik, kita mesti mengetahui antara apa itu nikmat Allah, ujian dan kemaksiatan. Selain itu jauhilah buruk sangka.
  2. Membedakan antara bagian kita dan kewajiban. Banyak orang mencampur adukkan antara kewajiban dan haknya.  Bagian kita adalah perkara-pekara mubah menurut ketetapan syari’ah. Terkadang kita terbalik memperlakukannya.
  3. Tidak buru-buru puas terhadap ketaatan yang dilakukan. Sesungguhnya jika kita puas terhadap setiap ibadah yang kita lakukan makan itu akan menjadi beban dosa. Kita akan menjadi  takabur dan ujub. Justru, para ulama salaf al-shalih kita memperbanyak istighfar setiap selesai mengerjakan berbagai macam ketaatan. Sebab mereka merasa sangat kekurangan memenui hak-hak Allah.

Setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatan. Maka hal yang paling depan untuk kita muhasabahi adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini.

Jika kita telah melewati proses penyadaran diri seperti tersebut di atas kemudian dikuatkan dengan pilar-pilarnya, maka berarti kita telah memasuki pintu taubat dengan serius. Taubat merupakan langkah kembalinya hamba kepada Allah SWT dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka dan sesat. Kita tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah SWT. Sedangkan hidayah-Nya tidak bisa kita peroleh kecuali dengan memohon pertolongan-Nya secara terus-menerus. Karena begitu urgensinya dan tidak mudahnya untuk konsisten di jalan al-shirath al-mustaqim, maka kita mestinya setiap hari melakukan muhasabah, jika kita bercita-cita menjadi mu’min sejati.(Kholili Hasib/hdytlh)


Sumber: www.wahdah.or.id

Minggu, 22 April 2012

Jangan Lewatkan Hari Tanpa Muhasabah (2)


Proses Penyadaran Diri

Menjadi lebih baik itu dengan penyadaran diri. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, ada empat aspek yang dilalui dalam proses penyadaran diri ini. Yaitu, al-yaqdzah, al-’azm, al-fikrah dan al-bashirah. Empat rangkaina inilah yang mesti menjadi unsur muhasabah.
  1. Al-yaqdzah, yaitu perasaan hati berupa penyesalan setelah ia bangun dari ’tidur’. Ini merupakan proses awal untuk membenahi perilaku yang telah dikerjakan. Yang ditekankan di sini adalah pengakuan bahwa dirinya hamba Allah SWT yang butuh pentunjuk-Nya karena telah berbuat dosa. Jika telah sadar, maka dia mesti punya tekad bulat.
  2. Al-’azm, yaitu niat kuat untuk melakukan perbaikan. Karena tekadnya telah bulat, maka segala hambatan dan rintangan siap dihadapi. Sebab dalam proses perbaikan, bisa dipastikan seseorang mengalami cobaan. Maka dia harus memiliki seorang penuntun yang dapat menghantarkan kepada tujuan. Makin kuat kesadaran, maka makit kuat pula niatnya.
  3. Al-fikrah, yaitu fokus pada tujuan perbaikan. Hati  hanya tertuju kepada sesuatu yang hendak dicari. Sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkan ke sana. Selama proses ini, seseorang tidak memikirkan yang lain dari muhasabahnya kecuali menjadi pribadi yang lebih baik dari kemarin yang diridlai Allah SWT.  Jika konsentrasi muhasabahnya masih diliputi tendensi-tendesi diluar kepentingan perbaikan diri, maka pasti pikiran lebih condong kepada tendensi-tendensi tersebut.
  4. Al-bashirah yaitu semacam cahaya dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka. Fase ini tidak dimiliki jika pada fase sebelumnya dia tidak serius membersihkan dosa. Menyucikan jiwa dari kotoran hati. Sehingga ia memiliki pandangan jauh ke depan, segala sesuatunya dipertimbangan berdasarkan tujuan final hidup ini.


 ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari kiamat.” (QS. Al-Hasyr: 18).


Sumber: www.wahdah.or.id

Jangan Lewatkan Hari Tanpa Muhasabah (1)


SEDARI kita mencapai usia akil baligh  hingga sisa nafas hari ini sudahkah pikiran terbetik bahwa kita memiliki hutang kepada Allah SWT yang tak terbayar? Pernakah di sela-sela waktu kosong dan senggang kita berfikir, “sudah berapa dosa yang telah aku perbuat sejak lahir hingga sekarang?”

Setidaknya, pernahkah ketika hari menjelang malam, ketika kita akan menutup mata di pembaringan untuk istirahat, kita mengingat-ingat amalan buruk kita selama sehari ini? “Apa tindakan buruk hari ini? Siapa yang aku sakiti hari ini? Dan apa kira-kira dosaku hari ini?”

Ataukah jangan-jangan, kita termasuk orang yang merasa cukup dengan pengabdian dan amal yang kita lakukan?

Coba bandingkan diri kita dengan Rasulullah SAW, sosol yang sudah jelas-jelas dijamin syurga dan kehidupan akhiratnya oleh Allah. Beliau masuk melakukan introspeksi diri sehari dengan memohon ampunan selama seratus kali (HR. Muslim). Dalam riwayat Imam Bukhari disebut tujuh puluh kali.

Istighfar dan muhasabah Rasulullah SAW seperti tersebut merupkan sikap syukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat yang diberikan sekaligus sebagai contoh untuk umatnya. Nabi SAW adalah pribadi yang ma’shum bebas dari dosa. Meski begitu menurut sebagian ulama’, disamping sebagai uswah,  istighfarnya adalah untuk perkara-perakara yang mubah dilakukan Rasulullah SAW, bukan untuk kesalahannya. Maka, kita mestinya lebih banyak lagi melakukan penyadaran diri ini. Karena kita manusia yang tidak ma’shum, tidak memiliki jaminan di akhirat kelak.

Jika kita yang manusia biasa, tidak sekalipun bermuhasabah dalam sehari, maka kita sesungguhnya dalam keadaan ’tidur’. Tidak melihat sedang dimana kita, siapa kita dan akan kemana nantinya diri ini. Atau kita adalah orang sombong, sehingga tidak perlu bermuhasah.

Umar bin Khattab r.a pernah berkata: ”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”

Melakukan muhasabah dalah bertujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan yang ia lakukan. Sehingga, hal tersebut menjadi evaluasi yang menjadi pendorong menjadi lebih baik lagi.

Akan tetapi tujuan tertinggi dari hal tersebut adalah menjadi mu’min sejati yang diridlai-Nya. Cita-cita menjadi mu’min sejati dapat digapai dengan proses penyadaran diri yang disebut muhasabah. 
(sumber: www.wahdah.or.id)

Jumat, 06 April 2012

Mamaku...

Sekian lama saya berpikir untuk menuliskan puisi tentangmu
Tapi saya tak tahu, apa yang mesti saya tuliskan
Tentangmu dengan berjuta cinta yang tak Engkau sampaikan secara lisan
Tapi itu terlihat dari tingkahmu

Saya baru menyadari itu...
Saya baru tahu, mengapa Engkau seperti itu
Saya adalah orang cuek yang baru 'ngeh' setelah jauh darimu
Tapi tetap saja, saya tidak mampu mengatakan apa-apa tentangmu
Karena Engkau sangat baik

Saat saya sakit, engkau selalu menjagaku,
Engkau terlalu khawatir, sehingga Engkau terlalu memaksakanku
Membuatku jengkel
Maaf mama...

Kata orang, anak gadis dan mamanya sering bertengkar
Entah apa itu, tapi maafkan anak gadismu ini
Karena selalu membuatmu jengkel

Engkau sangat menyayangi kami
Dengan caramu yang sangat berbeda dengan ibu-ibu lain menyayangi anaknya
Namun itulah ciri khasmu

Saya tak tahu isi hatimu
Tapi saya ingin sekali mendengar keluhmu ma...
Maafkan anakmu ini, jika saat menelpon hanya mengeluh...
Dan kembali membuatmu khawatir

Trimakasih ma, karena engkau telah mengkhawatirkanku
Terima kasih ma...
Ma, maafkan anakmu ini...
Ma, I love You So Much
Ma, Uhibbukillah

Ya Allah, terima kasih engkau telah memberiku mama seperti beliau
Terima kasih, karena Engkau telah menanamkan cinta padanya
Ya Allah, Jaga mamaku...
Saya titipkan padaMu ya Allah...